Untuk masalah mengonvert file Word ke PDF sesungguhnya bisa dilakukan dengan beberapa cara. Mulai dari menggunakan sebuah software bahkan bisa melalui online. Bahkan caranya cukup mudah.
Langkah 1 :
Untuk bisa mengonvert file Word ke PDF, kita membutuhkan sebuah plugin tambahan ke
Office. Silahkan download file tersebut di http://rapidshare.com/files/383567245/
SaveAsPDFandXPS.exe
Langkah 2 :
Usai mendownloadnya, lalu klik 2 kali pada file yang baru saja anda download.
Langkah 3 :
Sekarang anda telah memasuki langkah pertama untuk penginstalan. Sebelum melanjutkan dengan mengklik tombol Continue, beri tanda centang terlebih dahulu ke kotak yang telah tersedia.
Langkah 4 :
Kini lanjutkanlah dengan mengklik tombol Continue.
Langkah 5 :
Selseainya proses penginstallan ditandai dengan munculnya sebuah pemberitahuan. Dan setelah itu, barulah kita menggunakan Office untuk mengonvert Word ke PDF.
Langkah 6 :
Pertama-tama bukalah Office Word, disini kami menggunakan Office Word 2007.
Langkah 7 :
Kini pilihlah salah satu file word yang akan anda jadikan PDF.
Langkah 8 :
Usai membukanya, lanjutkan ke langkah selanjutnya dengan menjadikan Word ke file berekstensi PDF. Pertama-tama klik tombol dengan gambar logo Office.
Langkah 9 :
Pilih Save AS > PDF or XPS.
Langkah 10 :
Isikan nama sesuai dengan selera anda serta tempat penyimpanannya.
Langkah 11 :
Dan jangan lupa untuk menentukan file
Langkah 12 :
Setelah semua sudah terisi sesuai kehendak anda, sekarang lanjutkan dengan mengklik Publish.
Langkah 13 :
Kini tunggu prosesnya sampai usai dan tunggu sesaat hingga muncul file PDF hasil convert dari Word yang baru saja anda lakukan. Cek terlebih dahulu isi dari file PDFnya, lalu setelah itu anda bisa langsung menutupnya.
Langkah 14 :
Anda bisa mencari file PDF yang baru saja anda tutup di tempat menyimpan ke folder yang anda pilih.
(Tabloid Komputek)
Monday, June 7, 2010
Sunday, June 6, 2010
Artikel AIDS
AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang menurunkan kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap sembarang infeksi ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerjasama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia mereka. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]
Hukuman sosial bagi penderita yang terkena HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut mengenai petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Penularan oleh HIV
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[7] Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih beresiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HIV
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[16] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
• Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
• Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang
• Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
• Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
Sistem klasifikasi CDC untuk infeksi HIV
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.[17][18] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.[19] Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[20] Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[21] Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum meperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini demikian pula bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan.[21] Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis harus diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
Gejala dan komplikasi
Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4 pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang. jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³) jumlah RNA HIV per mL plasma
Gejala AIDS merupakan hasil dari kondisi yang umumnya tidak akan terjadi pada individu dengan sistem kekebalan yang sehat. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, fungi dan parasit yang dalam keadaan normal bisa dikendalikan oleh elemen sistem kekebalan yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[22] HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik seperti demam, keringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, kelemahan, dan penurunan berat badan.[23][24] Setelah diagnosis AIDS dibuat, rata-rata lama waktu bertahan dengen terapi antiretroviral (2005) diperkirakan lebih dari 5 tahun,[25] tetapi karena perawatan baru terus berkembang dan karena HIV terus berevolusi melawan perawatan, perkiraan waktu bertahan kemungkinan akan terus berubah. Tanpa terapi antiretroviral, kematian umumnya terjadi dalam waktu setahun.[7] Kebanyakan pasien meninggal karena infeksi oportunistik atau kanker yang berhubungan dengan hancurnya sistem kekebalan tubuh.[26]
Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antarorang dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan seseorang terhadap penyakit dan fungsi imun[8][9][12] perawatan kesehatan dan infeksi lain,[7][26] dan juga faktor yang berhubungan dengan galur virus.[14][27][28] Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS juga bergantung pada prevalensi terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Transmisi dan pencegahan
Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan[44]
Rute paparan Perkiraan infeksi
per 10.000 paparan
dengan sumber yang terinfeksi
Transfusi darah 9.000[45]
Persalinan 2.500[46]
Penggunaan jarum suntik bersama-sama 67[47]
Hubungan seks anal reseptif* 50[48][49]
Jarum pada kulit 30[50]
Hubungan seksual reseptif* 10[48][49][51]
Hubungan seks anal insertif* 6,5[48][49]
Hubungan seksual insertif* 5[48][49]
Seks oral reseptif* 1[49]§
Seks oral insertif* 0,5[49]§
* tanpa penggunaan kondom
§ sumber merujuk kepada seks oral
yang dilakukan kepada laki-laki
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.[52]
Penularan melalui hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia.[53] Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung. Risiko masuknya HIV dari orang yang terinfeksi menuju orang yang belum terinfeksi melalui hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seksual dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.[54] Risiko transmisi HIV dari air liur jauh lebih kecil daripada risiko dari air mani. Bertentangan dengan kepercayaan umum, seseorang harus menelan segalon air liur dari individu HIV positif untuk membuat risiko signifikan terinfeksi.[55]
Sekitar 30% wanita di sepuluh negara dari "berbagai kebudayaan, geografi, dan pengaturan pemukiman" melaporkan bahwa pengalaman seksual pertama mereka akibat dipaksa, sehingga kekerasan seksual ialah kunci pandemik HIV/AIDS.[56] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[57]
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.[58]
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[58][59] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[60][61] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko transmisi HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[62] Penggunaan efektif kondom dan penapisan (screening) transfusi darah di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Eropa Tengah dianggap sebagai salah satu penyebab kecilnya jumlah AIDS di daerah-daerah tersebut. Mempromosikan penggunaan kondom terbukti kontroversial dan sulit. Banyak kelompok beragama, terutama Gereja Katolik Roma, menentang penggunaan kondom karena alasan keagamaan dan terkadang melihat promosi kondom sebagai perlawanan terhadap pernikahan, monogami, dan moralitas seksual. Pihak yang mendukung peran Gereja Katolik dalam pencegahan AIDS dan penyakit menular seksual secara umum menyatakan bahwa walaupun Gereja Katolik mungkin melawan penggunaan kontrasepsi, Gereja Katolik juga adalah penentang kuat hubungan di luar nikah.[63] Sikap ini juga ditemukan pada sejumlah penyedia fasilitas kesehatan dan pembuat kebijakan di negara-negara Afrika Sub-Sahara, tempat tingkat HIV dan AIDS yang sangat tinggi.[64] Mereka juga mempercayai bahwa distribusi dan promosi kondom sama saja dengan mempromosikan seks di antara anak muda dan memberikan pesan yang salah kepada orang yang tidak terinfeksi. Namun demikian, tidak ada bukti bahwa promosi kondom meningkatkan tingkat seksualitas,[65] dan program abstinence-only (hanya berpantang berhubungan badan dan tidak menggunakan kondom) tidak berhasil di Amerika Serikat dalam mengubah perilaku seksual dan mengurangi transmisi HIV.[66] Evaluasi sejumlah program abstinence-only di Amerika Serikat menunjukkan dampak negatif terhadap kebersediaan kaum muda untuk menggunakan konstrasepsi akibat penekanan mengenai kegagalan kontrasepsi.[67] Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[68] Kondom lateks dapat rusak dan berlubang setelah jangka waktu tertentu, sehingga kondom semacam ini memiliki tanggal kadaluwarsa. Di Eropa dan Amerika Serikat, kondom harus memenuhi standar EC 600 (Eropa) atau D3492 (A.S.) agar diakui dapat melindungi dari transmisi HIV.
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.[69]
Dengan penggunaan kondom yang konsisten dan benar, risiko infeksi HIV sangatlah kecil. Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi di bawah 1% per tahun.[70]
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual:
Abstinence or delay of sexual activity, especially for youth (berpantang atau menunda kegiatan seksual, terutama bagi remaja),
Being faithful, especially for those in committed relationships (setia pada pasangan, terutama bagi orang yang sudah memiliki pasangan),
Condom use, for those who engage in risky behavior (penggunaan kondom, bagi orang yang melakukan perilaku berisiko).
Ada pula rumusan pendekatan ABC ini dalam bahasa Indonesia:[71]
Anda jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan kondom.
Pendekatan ini sangat berhasil di Uganda, yang prevalensi HIV-nya berkurang dari 15% menjadi 5%. Namun demikian, sesungguhnya banyak hal lain yang telah dilakukan di Uganda selain pendekatan tersebut. Edward Green, seorang ahli antropologi medis Harvard, mengatakan, "Uganda telah melopori pendekatan untuk mengurangi stigma, menggiatkan diskusi mengenai perilaku seksual, mengikutsertakan orang yang terinfeksi HIV dalam penyuluhan, membujuk individu dan pasangan untuk diuji HIV dan diberi bimbingan konseling, meningkatkan status perempuan, mengikutsertakan organisasi keagamaan, melibatkan praktisi pengobatan tradisional, dan masih banyak lagi." Namun demikian, banyak yang mengkritik pendekatan ABC karena individu yang setia namun pasangannya tidak setia berisiko terkena HIV, sementara diskriminasi terhadap perempuan sangatlah besar dan perempuan tidak dapat bersuara dalam hampir setiap sektor kehidupan mereka.[72] Program lainnya lebih mempromosikan penggunaan kondom. Misalnya, kondom merupakan bagian utama pada Pendekatan CNN:
Condom use, for those who engage in risky behavior (penggunaan kondom, bagi orang yang melakukan perilaku berisiko),
Needles, use clean ones (jarum, gunakan jarum yang bersih),
Negotiating skills; negotiating safer sex with a partner and empowering women to make smart choices (kemampuan negosiasi; menegosiasikan seks yang lebih aman dengan pasangan dan memberdayakan perempuan agar dapat memilih dengan bijak).
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan bahwa pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapan pendekatan itu akan harus berhadapan dengan sejumlah isu terkait kepraktisan, kebudayaan, dan perilaku. Beberapa ahli khawatir bahwa kurangnya persepsi akan kerentanan HIV pada laki-laki bersunat dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga malah mengurangi dampak usaha pencegahan ini.[73] Selain itu, ahli kesehatan Afrika Selatan khawatir bahwa penggunaan kembali pisau tidak steril pada ritual sunat laki-laki dapat menyebarkan HIV.[74]
Paparan dengan cairan tubuh yang terinfeksi
Wabah AIDS di Afrika Sub-Sahara tahun 1985-2003.
Rute transmisi ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali syringe yang mengandung darah yang terkontaminasi dengan HIV tidak hanya merupakan risiko utama infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Risiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[75] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.[76] Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah transmisi HIV melalui fasilitas kesehatan.[77]
Risiko transmisi HIV pada resipien transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[78]
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk syringe, bola kapas, sendok, air untuk mengencerkan obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Transmisi ibu ke anak
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi in utero selama minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat transmisi antara ibu dan anak selama kehamilan dan persalinan sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretroviral dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat transmisi hanya sebesar 1%.[46] Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko transmisi sebesar 10-15%. Risiko ini bergantung pada faktor klinis dan dapat bervariasi menurut pola dan lama menyusui.
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretroviral, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang transmisi HIV dari ibu ke anak.[79] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.[5] Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui transmisi ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[80] Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5]
Strategi pencegahan dikenal dengan baik di negara maju. Namun demikian, penelitian perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara belakangan ini menunjukkan bahwa minoritas banyak anak muda terus melakukan kegiatan berisiko tinggi dan meskipun mengetahui tentang HIV/AIDS, anak muda meremehkan risiko terinfeksi HIV.[81] Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretroviral secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[75] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.[82]
Penanganan untuk infeksi HIV terdiri dari terapi antiretroviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy), HAART.[83] Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak diperkenalkan pada tahun 1996 setelah ditemukannya HAART yang menggunakan inhibitor protease.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini mencakup kombinasi dari paling sedikit tiga obat yang berasal dari paling sedikit dua jenis, atau "kelas" agen anti-retroviral. Kombinasi yang umum digunakan terdiri dari dua nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) ditambah dengan protease inhibitor atau non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV pada anak-anak lebih deras daripada pada orang dewasa, parameter laboratorium sedikit prediktif tentang jalannya penyakit, terutama untuk anak muda, rekomendasi perawatan lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.[84] Di negara-negara berkembang tempat HAART ada, dokter mengakses beban virus, kecepatan pada berkurangnya CD4 dan kesiapan pasien sementara memilih ketika untuk merekomendasikan perawatan segera.[85]
HAART membuat adanya stabilisasi gejala dan viremia pasien, tetapi tidak menyembuhkan pasien dari HIV atau meredakan gejala, dan HIV-1 kelas tinggi dapat melawan HAART, kembali setelah perawatan berhenti.[86][87] Lebih lagi, akan mengambil lebih banyak waktu kehidupan individual untuk membersihkan infeksi HIV menggunakan HAART.[88] Banyak individu terinfeksi HIV yang mendapatkan pengalaman perbaikan hebatt pada kesehatan dan kualitas hidup mereka, yang menyebabkan adanya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV.[89][90][91] Tanpa adanya HAART, infeksi HIV ke AIDS muncul dengan rata-rata sekitar sembilan sampai sepuluh tahun dan waktu bertahan setelah memiliki AIDS hanya 9.2 bulan.[7] HAART meningkatkan waktu bertahan antara 4 dan 12 tahun.[92][93] Hal ini berasal dari fakta beberapa pasien dan di banyak kelompok klonikal, mungkin lebih dari lima puluh persen pasien. HAART menerika jauh sedikit daripada hasil yang optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan seperti efek samping/pengobatan tidak ditolerir, teori antiretroviral lebih dahulu tidak efektif dan infeksi dengan HIV yang melawan obat, namun, tidak-taat dan tidak-sakit terus menerus dengan terapi antiretroviral adalah alasan utama kebanyakan individual gagal untuk mendapat keuntungan dari perkembangan perlawanan terhadap HAART.[94] Alasan tidak-taat dan tidak-sakit terus menerus dengan HAART bervariasi dan saling melengkapi. Isu utama psikososial, seperti akses yang kurang terhadap fasilitas kesehatan, dukungan sosial yang tidak mencukupi, penyakit jiwa dan penyalahgunaan obat mengkontribusi pada tidak-taat. Kerumitan aturan HAART, apakah karena jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan atau isu lainnya bersama dengan efek sampil yang membuat tidak-taat sengaja juga memiliki dampak berat.[95][96][97] Efek samping termasuk lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, meningkatkan risiko sistem kardiovaskular dan kelainan bawaan.[98][99]
Multivitamin harian dan suplemen mineral ditemukan dapat mengurangi alur penyakit HIV pada laki-laki dan wanita. Hal ini dapat menjadi intervensi "berharga-rendah" yang tersedia selama awal penyakit HIV untuk memperpanjang waktu sebelum terapi antiretroviral didapat.[100] Beberapa bahab gizi individual juga telah dicoba.[101][102] Obat anti-retroviral mahal, dan mayoritas individual yang terinfeksi tidak memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS.[103] Hanya vaksin yang dapat menahan pandemik karena vaksin akan berharga lebih sedikit, demikian negara-negara berkembang mampu dan tidak membutuhkan perawatan harian,[103] namun, setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap menjadi target vaksin yang sulit.[103]
Penelitian untuk membuktikan perawatan termasuk pengurangan efek samping obat, jauh menyerderhanakan aturan obat untuk membuktikan kesetiaan, dan membuktikan rentetan terbaik aturan untuk mengatur perlawanan obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ukuran untuk mencegah infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi dengan virus ini dan dalam risiko terinfeksi.[104] Pasien dengan penindasan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan menerima terapi propilaktik untuk Pneumonia pneumosistis, dan banyak pasien mendapat manfaat dari terapi propilaktik untuk toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis.[82]
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah aliran penyakit.[105] Pada dekade awal epidemik ketika tidak ada penanganan berguna yang ada, jumlah besar orang dengan AIDS dicoba dengan terapi alternatif. Definisi "terapi alternatif" pada AIDS telah berubah sejak waktu itu, lalu, frase itu sering merujuk pada penanganan komunitas, belum dicoba oleh pemerintah atau penelitian perusahaan farmasi, dan beberapa berharap akan secara langsung menekan virus atau menstimulir sistem imun melawannya. Contoh obat alternatif yang diharapkan dapat mengurangi gejala atau menambah kualitas hidup termasuk urut, manajemen stres, obat jamu dan bunga seperti boxwood,[106][107] dan akupunktur.[105] Ketika menggunakan penanganan biasa, banyak yang merujuk kepadanya sebagai penanganan "saling melengkapi". Meskipun penyebaran penggunaan obat saling melengkapi dan alternatif oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS, belum ada hasil efektif dari terapi-terapi ini.[108]
Asal mula HIV
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.[124]
Tiga dari infeksi HIV awal yang diketahui adalah:
1. Sampel plasma diambil tahun 1959 dari laki-laki dewasa yang tinggal di Kinshasa, kini merupakan bagian dari Republik Demokratik Kongo.[125]
2. HIV ditemukan pada sampel jaringan dari "Robert R.", remaja Afrika-Amerika berusia 15 tahun yang meninggal di St. Louis tahun 1969.[126]
3. HIV ditemukan pada sampel jaringan dari Arvid Noe, pelaut Norwegia yang meninggal sekitar tahun 1976.[127]
Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.[128] Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan.[129] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli percaya bahwa HIV masuk kedalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.[130] Teori yang lebih kontroversial yang diketahui dengan nama hipotesis OPV AIDS mengusulkan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia oleh penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio.[131][132] Menurut komunitas ilmu pengetahuan, skenario ini tidak didukung oleh bukti yang ada.[133][134][135]
Kesalahpahaman HIV dan AIDS
Beberapa kesalahpahaman telah terjadi tentang HIV/AIDS. Terdapat tiga kesalahpahaman yang paling umum terjadi, yaitu AIDS dapat menyebar melalui kontak sehari-hari, hubungan seksual dengan perawan akan menyembuhkan AIDS, dan HIV hanya dapat menginfeksi laki-laki homoseksual dan pemakai narkoba. Kesalahpahaman lainnya adalah bahwa seks anal antara laki-laki homoseksual dapat menyebabkan infeksi AIDS, dan membuka diskusi homoseksualitas dan HIV di sekolah menyebabkan meningkatnya homoseksual dan AIDS.[142]
Valentino Rossi cedera hingga 5 bulan
(Detiksport) Mugello - Pupus sudah impian Valentino Rossi mempertahankan gelar juara dunia MotoGP-nya. Pembalap Fiat Yamaha itu harus beristirahat setidaknya selama lima bulan untuk memulihkan cedera patah kaki kanannya.
Rossi yang mengalami kecelakaan saat mengikuti free practice sesi II GP MotoGP Italia, Sabtu (5/6/2010) malam WIB, harus dioperasi pada bagian tulang fibianya yang patah. Awalnya diprediksi Rossi hanya absen sekitar 2-3 bulan.
Namun dalam perkembangannya keadaan Rossi lebih buruk dan usai melakukan pembedahan dinyatakan secara resmi pria asal Italia berusia 31 tahun itu harus menepi dari sirkuit balap selam lima bulan.
"Operasi berjalan sangat sukses. Waktu pemulihannya sekitar empat sampai lima bulan," tegas dokter yang mengoperasinya, Roberto Buzzi, seperti dilansir Reuters.
Dengan demikian bisa diartikan peluang Rossi untuk menjadi juara musim ini sangat tipis atau boleh dikatakan sudah habis. Dasarnya adalah MotoGP 2010 menyelesaikan musimnya pada 7 November pada seri Valencia.
Jika Rossi sembuh dalam waktu empat bulan atau lebih cepat, ia baru bisa turun membalap pada bulan Oktober di mana balapan sudah memasuki seri ke-14 atau tinggal tersisa empat. Hanya keajaiban yang bisa membuat Rossi ada di puncak klasemen saat musim berakhir.
Sejak mengalami cedera saat latihan bulan April lalu, Rossi mengaku perlu waktu untuk memulihkan kondisinya. Bahkan jika kondisinya belum membaik hingga akhir musim, ia terpaksa harus naik meja operasi.
"Cedera seperti ini sembuh setelah tiga setengah bulan. Aku sudah dibantu (dalam mengatasi cedera) tapi baru sebulan setengah berlalu," katanya di Autosport.
"Tulang bahuku mengalami pergeseran dan mencederai tulang rawan di sekitarnya. Ini cedera terburuk sepanjang karirku," tuturnya.
Rossi akan bertahan hingga jeda musim panas. Di saat itu, ia akan berusaha untuk menguatkan otot-ototnya sehingga dapat menopang bahunya.
Jika itu gagal dilakukan, di akhir musim Rossi terpaksa masuk ruang operasi. Jika ini terjadi, dia mengaku proses pemulihan jelas butuh waktu tak sebentar.
"Aku merasa hanya dalam kondisi 65-70% secara fisik. Namun, dengan dukungan penonton yang luar biasa, kuharap dapat memberi dorongan lebih untuk berbuat lebih baik dari yang kubisa," terang Rossi yang menduduki peringkat dua klasemen di bawah Jorge Lorenzo.
Subscribe to:
Posts (Atom)